Bukan Kerata Kencana
Pada waktu saya kecil, mama mempunyai kotak perhiasan yang berbentuk kereta kencana mungil, berwarna putih gading dengan roda, jendela dan lampu2nya yang berwarna keemasan.
Yang ketika atapnya dibuka akan terlihat kotak kecil yang dilapisi kain beludru merah dan terdengar sebuah melodi..
Waktu itu saya berpikir kereta kencana itu adalah mainan untuk saya, dan saya tidak pernah bosan membuka tutup atapnya hanya untuk mendengarkan melodinya, sambil berkhayal dan mengarang cerita tentang kereta kencana itu, meskipun saya tau sejak dini, bahwa kereta kencana itu hanya nyata di negri dongeng.
Saya tidak pernah tertarik akan isi kotak beludru, perhiasan milik mama, dan beliau tahu itu, sehingga sering membiarkan saya bermain2 dengan kereta kencananya.
Belasan tahun kemudian, saya mendaki Gunung Gede dengan beberapa teman karib, dan salah satu sahabat baik saya, ia terserang hypothermia, tengah malam, di tengah perjalanan, dia menggiggil dan mengigau, saya dan teman yang lain hanya bermodal dua baju panas, kami berikan padanya sambil menggosok2 badannya, lupa dan tidak perduli dengan hawa dingin yang juga akan menyerang kami karena kini hanya ada satu lapis baju panas saja yang menempel di badan kami...
hanyalah rasa panik, dan kuatir...
Kondisi sahabat saya itu membaik setelah beberapa jam kemudian dan kami meneruskan perjalanan itu, berpapasan dengan para pendaki yang lain, terkadang dilalui oleh mereka yang berjalan lebih cepat daripada kami.
Jalanan semakin mendaki, kami melihat teman2 lain yang dengan riangnya turun gunung, dan menanyakan setiap kalinya, apakah puncaknya masih jauh? Dijawab dengan kalimat yang sama, tidak, sebentar lagi.. dan itu menimbulkan semangat baru..
Pada saat kami berada diujung patah semangat, dengan rasa lelah tak tertahankan setelah belasan jam hanya mendaki.. dan rasa ingin berhenti berada di setiap tarikan nafas, tapi setiap kalinya, berkata pada diri sendiri, ayo, satu tanjakan lagi, saya akan istirahat... tiba2 jalanan menjadi dataran rata dengan pemandangan menakjubkan.. padang edeilweis ditengah halimun!!
Entah ke mana rasa lelah yang tadi.. seolah hilang pula bersama kabut halimun..
Seiring dengan perjalanan saya mendaki gunung kehidupan, saya juga melaluinya selangkah demi selangkah, bukan dengan kereta kencana, kali ini saya tidak takut lagi dengan rasa lelah..
dan teringat kembali akan kalimat dari buku, yang sedang saya baca.. (di mana sang datuk itu juga berada di pegunungan pyrénées..;)) kita hanya bisa memberikan apa yang kita miliki....
Yang ketika atapnya dibuka akan terlihat kotak kecil yang dilapisi kain beludru merah dan terdengar sebuah melodi..
Waktu itu saya berpikir kereta kencana itu adalah mainan untuk saya, dan saya tidak pernah bosan membuka tutup atapnya hanya untuk mendengarkan melodinya, sambil berkhayal dan mengarang cerita tentang kereta kencana itu, meskipun saya tau sejak dini, bahwa kereta kencana itu hanya nyata di negri dongeng.
Saya tidak pernah tertarik akan isi kotak beludru, perhiasan milik mama, dan beliau tahu itu, sehingga sering membiarkan saya bermain2 dengan kereta kencananya.
Belasan tahun kemudian, saya mendaki Gunung Gede dengan beberapa teman karib, dan salah satu sahabat baik saya, ia terserang hypothermia, tengah malam, di tengah perjalanan, dia menggiggil dan mengigau, saya dan teman yang lain hanya bermodal dua baju panas, kami berikan padanya sambil menggosok2 badannya, lupa dan tidak perduli dengan hawa dingin yang juga akan menyerang kami karena kini hanya ada satu lapis baju panas saja yang menempel di badan kami...
hanyalah rasa panik, dan kuatir...
Kondisi sahabat saya itu membaik setelah beberapa jam kemudian dan kami meneruskan perjalanan itu, berpapasan dengan para pendaki yang lain, terkadang dilalui oleh mereka yang berjalan lebih cepat daripada kami.
Jalanan semakin mendaki, kami melihat teman2 lain yang dengan riangnya turun gunung, dan menanyakan setiap kalinya, apakah puncaknya masih jauh? Dijawab dengan kalimat yang sama, tidak, sebentar lagi.. dan itu menimbulkan semangat baru..
Pada saat kami berada diujung patah semangat, dengan rasa lelah tak tertahankan setelah belasan jam hanya mendaki.. dan rasa ingin berhenti berada di setiap tarikan nafas, tapi setiap kalinya, berkata pada diri sendiri, ayo, satu tanjakan lagi, saya akan istirahat... tiba2 jalanan menjadi dataran rata dengan pemandangan menakjubkan.. padang edeilweis ditengah halimun!!
Entah ke mana rasa lelah yang tadi.. seolah hilang pula bersama kabut halimun..
Seiring dengan perjalanan saya mendaki gunung kehidupan, saya juga melaluinya selangkah demi selangkah, bukan dengan kereta kencana, kali ini saya tidak takut lagi dengan rasa lelah..
dan teringat kembali akan kalimat dari buku, yang sedang saya baca.. (di mana sang datuk itu juga berada di pegunungan pyrénées..;)) kita hanya bisa memberikan apa yang kita miliki....